Friday, May 8, 2020

Dua Puluh Empat




Tujuh Mei 2020 kemarin, banyak orang mengucapkan doa-doa terbaik mereka untukku, tak sedikit juga yang meminta aku berdoa sendiri untuk keinginanku dan mereka membantu mengaamiinkan. Di hari itu, orang banyak menyebutnya ulang tahun. Sebuah pengulangan umur di setiap tahun. Alhamdulillah, jika memang seperti itu, syukur tiada terhingga atas nikmat nafas dan umur sampai tahun ini.

Sebenarnya bukan sebuah hal besar untukku, karena sedari kecil, orang tua tidak pernah membuat perayaan ulang tahun seperti teman-temanku lain. Entah membelikan kue beserta lilin lalu ditiup, ataupun memberikan kado, ibu dan bapak tidak pernah melakukannya. Bahkan sebuah ucapanpun tidak terlontarkan. Hanya saja aku paham, tanpa menunggu perayaan ulang tahun, mereka setia mendoakan yang terbaik untukku setiap hari. Maka sebuah ucapan bukan hal besar bagiku.

Tujuh Mei 2020 kemarin, aku menganggapnya sebagai sebuah momen mengingat hari lahir. Bahwa aku telah terlahir dari rahim sosok wanita hebat di tanggal 7 Mei dua puluh empat tahun lalu. Dua puluh empat, sebuah perjalanan angka yang hampir mencapai seperempat dari angka seratus. Dua puluh empat sebagai sebuah refleksi sebuah kedewasaan manusia, bukan lagi remaja nanggung yang masih belum menentukan arah.

Berbicara umur dua puluh empat tahun, sebuah umur yang rentan akan life crisis. Teman-teman remaja biasa menyebutnya QLC atau quarter life crisis. Sebuah krisis kehidupan di perjalanan menuju seperempat abad. Di titik ini, banyak sekali kegalauan dan kebimbangan hidup melanda, begitu katanya.

Sedikit yang aku tahu tentang QLC selama perjalanan hidupku sampai saat ini. Masa ini sebenarnya sudah aku alami sejak dua tahun lalu, saat aku baru saja lulus dari perguruan tinggi. Di mana sebuah fase galau mendadak hadir dan membuat pikiran lumayan tertekan.

Dua tahun lalu, saat aku berada di semester delapan, menjelang wisuda dua bulan setelahnya. Ketika skripsi tinggal menyelesaikan proses revisi akhir, saat itu aku mulai memikirkan karir dan masa depan. Apa yang harus kukerjakan setelah ini, apa lagi? Bagaimana aku menghadapi kehidupan? Dsb.

Saat itu, posisiku sudah bekerja sebagai tim marketing sekitar tujuh bulan di sebuah lembaga amil zakat daerah. Posisi karir yang sebenarnya sudah sangat baik untuk mahasiswa ingusan yang masih harus mondar-mandir kampus untuk menyelesaikan skripsi. Pihak kantor memberikan kelonggaran untukku menyelesaikan skripsi di sela-sela waktu bekerja, tentunya dengan SOP yang berlaku.

Tujuh bulan bekerja dengan setulus hati, berniat untuk menginfakkan diri di kantor yang menaungi bidang sosial tersebut, namun semakin hari pikiranku kalut akan tawaran pekerjaan lain. Sebuah lowongan bekerja di sebuah akademi yang sedari kuliah sudah kuidam-idamkan bekerja di sana sebagai pengajar kelas menulis anak-anak. Kesempatan mengembangkan karir dan hobi terbuka lebar di sana. Tawaran yang sangat menggiurkan.

Setelah pertimbangan panjang dan konsultasi ke keluarga dan orang terdekat, sepekan menjelang wisuda, aku putuskan untuk mengirim surat resign dari lembaga zakat tersebut. Sebuah keputusan besar yang aku ambil tanpa gegabah. Bukan lagi ego yang berperan, namun juga pertimbangan logika dan banyak hal.

Di titik tersebut, satu fase QLC telah aku lewati di usia dua puluh dua tahun. Keputusan besar meninggalkan sebuah pekerjaan di posisi yang bagus, lingkungan yang baik, serta prospek karir yang juga bagus. Satu hal yang aku pertegas dalam mengambil keputusan yaitu kebahagian hati, di mana di kantor baru, aku merasa lebih dekat dengan hobiku, apa yang aku suka.

Fase kedua QLC yang aku alami adalah fase di mana keinginan naik ke jenjang kehidupan yang lebih serius datang, menikah. Keinginan yang mungkin sama mendominasinya dengan urusan karir. Satu hal yang sama pentingnya dengan karir di masa depan.

Umur dua puluh empat menjadi fase penyelesaian urusan menikah terumit. Di titik ini, dorongan untuk menyegerakan datang dari banyak orang, kecuali bapak. Bapak sepertinya belum mengijinkan anak gadisnya ini menikah, mungkin aku masih terlalu dini menurut beliau.

Dua puluh empat tahun ini, urusan menikah menjadi hal rumit pada awalnya, namun setelah proses yang panjang, jatuh bangun menanti ataupun dipermainkan, urusan ini hanya ingin aku pasrahkan pada Sang Maha Cinta. Siapapun dan bagaimana jalan ceritanya, tidak ada yang paling indah dengan ikhlas menerima setiap prosesnya. Perkara menanti memang melelahkan, sangat lelah, tapi aku yakin Allah selalu menguatkan. Happy 24th for me :)

Thank you for reading :)

#inspirasiramadhan #dirumahsaja #flpsurabaya #BERSEMADI_HARIKE-8

1 comment:

  1. Usia 24 tahun, ibarat buah, sudah matang untuk dipetik seseorang.. hehehee

    ReplyDelete