"SEBUAH AWALAN"
Mungkin, bukan juga di perjalanan kali ini.
Mungkin, bukan juga di perjalanan kali ini.
Ada saatnya aku mulai kembali berjalan, berjalan menemui masa depan yang masih abu. Sempat kukira akan berhenti di
perjalanan kali ini, sempat pula kuduga, perjalanan sudah akan berakhir. Nyatanya,
Tuhan belum menyetujui langkah ini terhenti.
Singkat cerita, kutemui lelaki bernama Mas Biru. Lelaki bertinggi
sekitar dua jengkal lebih tinggi dariku ini suka sekali menghibur. Meskipun kutahu, dia bukan pelawak. Namun cukup nyaman aku dibuat tertawa lebar oleh celotehnya
yang cerdas. Dia pun bukan seorang dosen yang menyampaikan banyak ilmu baru, namun sudah cukup bertambah pengetahuanku mengenai hidup dari
nasehatnya yang selalu bijak. Sungguh, aku tidak berlebihan memujinya, nyatanya
memang dia benar-benar seperti yang kuharapkan saat itu, kurasa saat ini pun “masih”.
Mas Biru senang sekali memberikanku wejangan-wejangan ringan, yang nyatanya selalu masuk dalam logika dan mengalahkan ego di dada. Kudengar
baik-baik setiap masukannya, meskipun terkadang sedikit kucela dengan argument pribadi. Pada akhirnya tetap, dia memenangkan perdebatan dan aku hanya bisa
manggut-manggut menerima setiap masukan. Awalnya, kukira dia salah, nyatanya,
aku yang salah karena emosi masih menyala.
Hal-hal seperti itu yang semakin hari semakin membuatku nyaman bersahabat dengan Mas Biru. Aku menerima setiap nasehat, tutur
kata, kesabaran, lelucon yang dia sampaikan. Aku menyukai semua. Hingga
pada akhirnya, akupun mulai menyadari jika jantungku berdegub semakin kencang
ketika bertemu Mas Biru.
Awalnya kukira kelaparan, sehingga tubuhku gemetar dan hati berdebar. Nyatanya, seseorang membisikiku dengan lembut,
“Kamu jatuh cinta sama Mas Biru, kan?”
Kuusir jauh-jauh seseorang yang membisiki kalimat menjijikan
itu, mana mungkin aku jatuh cinta dengan sahabat sendiri. Aku nggak jatuh cinta sama Mas Biru kok, nggak mungkin!
Semakin hari, aku dan Mas Biru semakin akrab, semakin banyak
hal kita bicarakan bersama. Remeh temeh sampai seserius pertemuan dengan Allah ketika
mati nanti, selalu menghiasi obrolan tengah malam kami.
Apa saja kukeluh dan ceritakan kepada MasBiru. Aku ingin dia tahu keadaan dan bagaimana susahnya aku menghadapi hidup hari ini. Tenang, jangan bayangkan aneh-aneh! Hidupku tak sesusah itu. Aku hanya menceritakan kekesalan dalam bekerja ataupun lamanya menunggu jemputan bapak Gojek, itu sangat membosankan!
Apa saja kukeluh dan ceritakan kepada MasBiru. Aku ingin dia tahu keadaan dan bagaimana susahnya aku menghadapi hidup hari ini. Tenang, jangan bayangkan aneh-aneh! Hidupku tak sesusah itu. Aku hanya menceritakan kekesalan dalam bekerja ataupun lamanya menunggu jemputan bapak Gojek, itu sangat membosankan!
Kian lama kami menyadari hubungan yang sudah tidak sehat ini, kami tidak pacaran tapi kami saling memberikan perhatian. Kami tidak
saling mengakui cinta, tapi dada kami saling berdebar ketika jumpa. Apakah namanya?
Betapa sayangnya Tuhan kepada kami, akhir kisah kami
terpisah sendiri oleh takdirNya. Aku dan Mas Biru terpisah jarak dan menjalani kehidupan masing-masing. Kami tak lagi berpesan hingga larut malam,
tak pula main bersama mengelilingi sudut kota yang tak pernah sepi ini. Kami hanya
bertukar sapa ketika ada hal yang memang harus dibicarakan, selebihnya tidak!
Kisah ini mungkin seperti kisah pada umumnya, seorang
wanita yang jatuh cinta pada lelaki yang memberinya perhatian lebih, namun ada
satu hal yang membedakan kisah ini dengan kisah lain. Kalian tahu apa?
Aku dan Mas Biru sama-sama menyukai langit. Langit adalah
pemandangan terindah bagi kami, hiburan terbaik, dan booster paling mudah dicari ketika sedih. Kami mencintai dan mengagumi
langit sebagai ciptaanNya yang penuh tanda tanya. Salah satu tanda tanya itu
adalah “Kenapa langit berwarna biru?”
Kalian tahu alasannya kenapa?
Aku dan Biru setuju untuk jawaban atas pertanyaan tersebut. Kami
sepakat atas jawaban dari pertanyaan yang mungkin menurut kalian konyol. Namun
bagi kami, pertanyaan itu adalah sebuah kunci masa depan. Kunci perjalananku
untuk menemukan masa depan. Dan aku menemukan serpihan dari kunci untuk masa depan tersebut dari Biru.
“Kenapa langit
berwarna biru, mas?” []